Jumat, 16 Mei 2008

Belajar yang Menakutkan

Sumber: Kompas Cyber media

Pendidikan Kita, "Sport Jantung"?
Jumat, 11 April 2008 00:31 WIB
Maria FK Namang
Our progress as a nation can be no swifter than our progress in education. (John F Kennedy)
Makin aktifnya para siswa untuk ”belajar” demi menghadapi ujian nasional dan kian cemasnya orangtua terhadap keberhasilan anak bisa saja dipandang positif. Anak yang suka bermain lebih terpacu untuk belajar. Namun, apakah itu bermakna pedagogis dan kontributif terhadap pembangunan bangsa?
Mungkin berlebihan menandaskan bahwa ketidakberesan sosial berakar dari pendidikan. Bahkan, John Dewey, pakar pendidikan, dalam Education Today (1940) pun tidak mengatakannya. Pendidikan hanya salah satu dari berbagai institusi yang berkolaborasi dalam menata kehidupan sosial. Meski demikian, tidak dapat dihindari, pendidikan menjadi elemen penting demi menjamin sebuah tatanan sosial agar berubah secara otentik. Jelasnya, ia berada pada proses (dan mengapa tidak, menjadi proses vital) demi terjadinya perubahan yang lebih diidamkan.
Dalam kedudukannya sebagai proses, Dewey mengedepankan tiga hal sebagai pilar. Perlu ada nilai bersama (common value) yang menjadi acuan bertindak. Nilai itu menjadi daya dorong dan kekuatan perekat. Juga perlu didukung masyarakat (community) yang berperan secara proaktif dalam proses pendidikan. Keterlibatan dan prakarsa amat sangat dibutuhkan karena justru dari mereka (bukan dari pemerintah) terlahir pembaruan yang sesungguhnya. Dan, tidak kalah penting adalah dialog (communication) yang tercipta untuk mencairkan kebekuan akibat perbedaan pikiran dan kepentingan.
Alur pemikiran yang sama dikemukakan Guillermo Hoyos dkk dalam Educación, Valores y Democracia (1999). Ditekankan, pada masyarakat aktual yang amat terbuka, plural, dan demokratis, hanya akan terjaga dan tercapai tujuan bersama ketika ditopang pendidikan yang tepat. Untuk itu, model pendidikan lebih diarahkan kepada pengembangan secara integral pelbagai kemampuan peserta didik agar dalam dunia yang serba pilihan, ia memiliki skala nilai sebagai panduan bertindak.
Kontradiksi
Dalam memahami pendidikan, terdapat nilai bersama dan peran masyarakat yang kadang kandas dalam praksis. Konsep menata bangsa ke arah yang lebih baik sebagai daya dorong terjadinya reformasi kini ada dalam ambang ketidakpastian karena tidak didukung proses komunikasi yang cukup.
Para pengambil keputusan melahirkan aneka ide cemerlang yang kemudian terjabarkan dalam kurikulum paling maju (di dalamnya ada UN) di planet ini. Bahkan, patriotisme dan heroisme mereka patut dipuji karena di tengah anggaran yang sudah ”kadung terpotong” masih bisa melaksanakan ujian negara.
Namun, apakah itu bermanfaat? Untuk jangka pendek, barangkali ya. Tetapi, tidak untuk membangun masa depan bangsa. Ia malah akan amat kontraproduktif. Anak yang dipacu mengadakan ”sport otak” pada tiga bulan menjelang ujian nyaris tak punya manfaat membangun kecerdasan anak. Apa yang dikatakan akan terlupakan sesegera mungkin seirama berakhirnya ujian. Sementara sekolah yang takut ”terteror” masyarakat dengan mudah mereduksi proses pendidikan kepada sekadar lulus ujian (Kompas, 3/4).
Tidak hanya itu. Orangtua pun ikut ”sport jantung”. Di tengah harga kebutuhan pokok yang kian melambung, ia dipaksa menyisihkan dana (yang mungkin melampaui biaya operasional sekolah yang diberikan pemerintah) demi les tambahan. Bukan berlebihan kalau disebut sebuah penderitaan beruntun: ibarat sudah jatuh tertimpa tangga.
Membuat pilihan
Ketidakpastian dalam pendidikan yang terus terjadi seharusnya dijawab dengan membuat pilihan yang tepat. Itu berarti kebiasaan melakukan sesuatu karena sudah biasa (kini UN karena dulu juga UN), adalah ekspresi keengganan untuk memilih. Padahal, sebuah kemajuan hanya bisa diraih ketika orang secara konsekuen memilih. Atau dalam bahasa JS Mill, siapa melakukan karena sudah biasa, tidak akan membuat pilihan.
Pilihan itu dapat berupa: pertama, mengembalikan proses sebagai elemen penting dalam pendidikan dan bukan hasil akhir (apalagi hasil instan). Mengutip Charles W Eliot, The fruit of liberal education is not learning, but the capacity and desire to learn, not knowledge, but power.
Kebijakan pendidikan kita justru mengambil langkah sebaliknya. Anak dipacu untuk belajar demi belajar. Ia kian jauh dari kerinduan untuk mengeksplorasi, mengembangkan jelajah intelektualnya secara bebas dan melahirkan karya-karya inovatif, bahkan kreatif. Proses perlu menjadi pilihan kita. Jika jalan yang benar dilewati, hasil akhir pasti dicapai. Tetapi, ketika mengharapkan tanpa membangun jalan, impian itu adalah kosong.
Kedua, membangun komunikasi. Keterpurukan bangsa adalah sebuah fakta (bukan sekadar asumsi) yang tidak bisa disangkal. Untuk itu kita perlu secara rendah hati mengakui kekeliruan kebijakan sebagai salah satu penyebabnya. Jelasnya, ke(tidak)bijakan lebih merupakan kehendak pemerintah dan bukan kerinduan masyarakat. Sebaliknya, sebuah proses (apalagi dalam pendidikan) hanya akan sukses ketika baik rakyat, siswa, atau siapa pun juga dilibatkan secara aktif. Atau seperti dikatakan syair sebuah lagu orang Indian Amerika, Tell me and I’ll forget. Show me, and I may not remember. Involve me, and I’ll understand.
Maria FK Namang Alumna Facoltà di Scienze dell’Educazione dell’Università Pontificia Salesiana, Roma